Menilai
tanpa menghakimi
Implementasi sikap dalam tahun Pastural GKPS
( Oleh : St. Jonner Damanik, M.Pd.K – GKPS Resort
Sinasih)
Sepanjang
perjalanan kehidupan manusia tidak terlepas dari apa yang disebut menilai.
Penilaian ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara dan dapat terjadi dimana saja di semua tempat dan
waktu yang tidak terbatas. Karena melekatnya penilaian ini sampai-sampai isi
kantong seseorangpun kita nilai. He.he.he.
Nah
! yang menjadi perenungan buat kita, apakah dalam proses penilaian yang kita
lakukan tanpa menghakimi ? jika kita cermati dalam kehidupan masyarakat secara
luas, maka kita akan menemukan bahwa proses penilaian yang kita lakukan nyaris
tidak ditemukan penilaian tanpa menghakimi.
Artinya, ketika kita mengadakan penilaian, maka secara langsung diikuti
oleh sikap yang menghakimi. Sikap menghakimi selalu muncul ketika kita
melakukan penilaian terhadap sikap ataupun perbuatan seseorang. Contohnya, jika
seseorang berbeda pendapat ataupun prinsip dengan kita, maka kita menilai bahwa
dia tidak berada dipihak kita dan yang kemudian menghakimi dia menjadi orang
yang bersalah, penghambat ide, dan pada akhirnya menjadi musuh yang harus
disingkirkan. Dan saya sendiri ragu-ragu bahwa apakah tulisan ini juga akan
lebih cenderung menghakimi bukan menilai.
Menilai
bukanlah sesuatu yang tabu, sebab penilaian adalah merupakan bagian dari
evaluasi yang kita lakukan terhadap berbagai pekerjaan dan keadaan. Penilaian
ini bukan hanya ditujukan terhadap orang lain atau sesuatu diluar diri, akan
tetapi penilaian juga sangat perlu dilakukan terhadap diri sendiri. Dengan
mengadakan penilaian, maka kita dapat melakukan langkah-langkah perbaikan dan
atau pengembangan kearah yang lebih baik. Lain halnya dengan menghakimi. (Matius
7 : 1 "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.)
Tuhan Yesus tidak mengijinkan sesorang menghakimi siapapun juga. Bahkan
terhadap rambut kitapun, penghakiman tidak boleh dilakukan. Tuhan Yesus
mengenal betul kadaan dan kelemahan dari sikap yang menghakimi. Menghakimi
lebih cendrung memandang orang yang selalu bersalah dari kita sendiri. Sikap
menghakimi sulit mengenal kelebihan dan
kebebasan seseorang. Sikap menghakimi
juga sangat sulit untuk mengenal dan mengakui kekurangan serta kelemahan diri sendiri. Sikap yang menghakimi melihat selumbah di mata
orang lain tetapi balok di matanya tidak kelihatan.
Mengapa kita lebih
cendrung bersikap menghakimi dari pada memberikan penilaian terhadap sesuatu
dengan sehat ? Biasanya sikap menghakimi ini muncul akibat dari dorongan untuk
menutupi kelemahan dan kesalahanya sendiri, sehingga dia langsung memberikan
semacam vonis tertentu. Dia takut, dengan menerima atau mempertimbangkan
prinsip dan alasan seseorang maka nantinya kelemahan dia terbongkar. Maka dengan
serta-merta dia berusaha membenarkan tindakannya dan bersembunyi dibalik sikap
penghakiman yang ia jalankan. Sikap menghakimi cenderung menentukan batas
terakhir dari segala sikap dan perbuatan seseorang (vonis)
Kita memang sangat
sulit untuk menarima larangan untuk sikap menghakimi. Kita tentu tidak mengerti
apa yang akan terjadi disebuah Negara jika penghakiman tidak ada. Tidak mungkin
kehidupan bermasyarakat akan teratur jika lembaga untuk menghakimi seautu
perkara tidak ada. Namun kita jangan lupa pula, penghakiman tidak akan
dilakukan jikalau belum melihat secara cermat persoalan secara adil dan
bijaksana.
Apakah perbedaan
menilai dan menghakimi ? Menurut Terry D. Cooper perbedaan menilai dan
menghakimi dapat digambarkan dalam table berikut ini :
Penilaian
yang sehat
|
Sikap
yang menghakimi
|
Ada
Perhatian
: penilaian sehat melibatkan perhatian kepada orang lain.
|
Sikap
menghakimi tidak memperhatikan orang lain.
|
Kepercayaan
:
Penilaian yang sehat menolak untuk tidak mempercayai motif orang lain kecuali
ada bukti yang kuat.
|
Sikap
menghakimi menganggap mengetahui motif orang lain tanpa bukti yang masuk akal
|
Toleransi
:
Penilaian yang sehat melibatkan konsep moral dan agama dengan mereka yang
berbeda dengannya.
|
Sikap
menghakimi berkeras untuk berpegang teguh pada konsep moral dan agama tanpa
sikap menghargai dan toleransi pada mereka yang berbeda.
|
Tingkah
laku vs orang
: Penilaian yang sehat meminta pengutukan dari tingkah laku yang menyakitkan
atau ide yang tidak benar
|
Sikap yang
menghakimi mengecam orang yang melekat pada ide yang tidak benar atau tingkah
laku yang merusak.
|
Terbuka
:
Penilaian yang sehat mengenali masalah-masalah yang tidak terselesaikan
dengan sudut pandangnya sendiri. Penilaian ini dilakukan setelah mempelajari
bahwa seseorang dapat mempunyai pendirian tanpa memiliki kepastian sehingga
dapat terbuka pada perspektif orang lain.
|
Sikap yang
menghakimi menolak untuk mengenali masalah atau keterbatasan dengan sudut
pandangnya sendiri. Ia berkeras pada kepastian absolute.
|
Waktu
:
Penilaian yang sehat merupakan proses logika dari mengevaluasi bukti dan
mengambil keputusan yang telah dipikirkan dengan baik.
|
Sikap
menghakimi adalah berlogika emosional, yang membuat keputusan seketika
berdasarkan bukti palsu.
|
Tidak
takut : Penilaian yang sehat adalah hasil yang
dilakukan dari pemikiran hati-hati, reflektif dan tanda dari pikiran yang
tidak takut untuk memutuskan.
|
Sikap menghakimi
adalah hasil dari pemikiran ceroboh, tidak reflektif, dan tanda dari pikiran
yang khawatir untuk berpikir analis.
|
Berkenaan dengan tahun pastural di
GKPS, maka sikap menghakimi sebaiknya kita singkirkan jauh-jauh dari kehidupan
kita, khususnya bagi para parhorjani
kuria. Tentu dalam menggembalakan warga jemaat banyak persoalan yang
dihadapi, baik dari kurangnya minat para warga gereja untuk berkebaktian,
sampai kepada pelanggaran aturan dan peraturan ang berlaku di GKPS. Dalam hal
ini, tentu kita perlu mengambil langkah yang lebih bijak dari hasil evaluasi
kita untuk membina dan mengarahkan iman warga jemaat kepada Kristus. Tentu
berbagai kondisi dan situasi yang memaksa para warga jemaat berbuat seolah-olah
menurut cermat kita mereka melakukan suatu kesalahan. Jangan menghakimi mereka
dan jangan pula menghakimi diri kita. Marilah kita memberikan penilaian yang
sehat penuh dengan kasih terhadap sesuatu yang kita anggap melenceng dari
kepatutan dan jangan pula kita lupa melakukan penilaian juga terhadap diri kita
sendiri. Penlaian penuh dengan perhatian yang empati, percaya bahwa mereka
bukanlah memiliki motif yang buruk, ada sikap yang toleran, membenci kelakuaan
yang buruk bukan orangnya, terbuka untuk menyelesaikan secara bersama-sama
bukan menyelesikan secara sudut pandangnya sendiri. Ada proses dan tidak
terburu-buru tapi tidak membiarkan, tidak takut untuk memutuskan dan tidak
takut jika kelemahannya sendiri ikut terkoreksi. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar